Sekolah lulus dengan nilai tertinggi itu kebanggan banyak orang.
Kuliah lulus dengan bergelimang nilai A, cum laude, itu harapan banyak orang,
terutama orang tua yang biasanya merasa lebih bangga ketimbang sang anak yang
lulus.
Bisa sekolah,
bisa lolos kuliah, ya sudah seharusnya berusaha keras agar mendapat nilai
tinggi karena itulah ukuran keberhasilan akademis. Mereka yang lulus dengan
nilai tinggi memiliki kecakapan akademis yang tinggi pula. Dan itu menjadi
bekal yang baik untuk jenjang akademis berikutnya, dari SD, SMP, SMA, S1, ke S2
dan lalu ke S3.
Kecakapan
akademis juga menjadi bekal yang bagus juga saat lulus, untuk mencari kerja.
Bagaimana pun juga, yang IP (Indeks Prestasinya) lebih tinggi akan lebih
menarik perhatian.
Namun, saat
memasuki dunia bekerja, kita semua tahu, kecakapan akademis bukan satu-satunya
bekal menghadapi dunia kerja. Justru kecakapan non-akademis yang lebih banyak
menentukan masa depan, terutama di bidang-bidang yang membutuhkan
kecakapan-kecakapan yang tidak diajarkan di dunia akademis.
Maka, ketika
saya memberikan pembekalan kepada calon wisudawan D3 dan S1 Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, Senin 20 Mei 2013, di depan 1.600 an mahasiswa yang akan diwisuda,
saya mengatakan:
“Yang besok
diwisuda, dan akan segera menghadapi tantangan berikutnya di dunia kerja, ada
bekal yang tak kalah pentingnya dari IP, yakni kecakapan non-akademis. Kita
tidak akan bisa mengubah IP kita. Itu sudah tercetak. Itu hasil kuliah kita.
Yang IP nya 4 atau mendekati 4, selamat! Yang IP nya mentok di angka terendah
untuk lulus, selamat juga, bersyukurlah masih bisa lulus. Sekarang lupakan
semua itu.
Di depan ada tantangan hidup, tantangan kerja, yang membutuhkan
kombinasi kecakapan akademis dan non-akademis. Bahkan, seringkali, kecakapan
non-akademis lebih banyak menentukan. Kecakapan non-akademis inilah yang wajib
diasah.”
Banyak
kecakapan non-akademis yang menentukan keberhasilan kita menghadapi hidup dan
dunia kerja. Tapi saya hanya menyampaikan empat hal.
Pertama: Apapun yang kita kerjakan dengan senang hati saat
sekolah/kuliah, tapi tak terkait dengan nilai kuliah. Bisa jadi itu hobi kita.
Saya
misalnya, saat SMA dan kuliah, hobi membaca buku dan majalah ilmiah populer,
sekaligus suka menulis. Saya juga hobi menggambar. Semua itu tak ada kaitannya
dengan kuliah saya di Teknik Nuklir UGM. Namun hobi itu bisa membantu saya
membiayai kuliah. Setiap selesai kuliah, jika topik itu saya anggap menarik
untuk publik, saya menuliskannya menjadi artikel ilmiah populer, dan saya kirim
ke koran, terutama koran Wawasan dan Suara Merdeka di Semarang. Honornya
lumayan, karena saya bisa menulis setiap pekan.
Dan yang
penting, kecakapan menulis terasah!
Kecakapan
menulis ini membuat saya lebih mudah menulis skripsi, dan saat lulus mencari
kerja membuat surat lamaran yang tidak standar surat lamaran. Bahkan saya
lampirkan beberapa kliping tulisan itu di surat lamaran. Ini yang membuat saya
selalu dipanggil untuk wawancara kerja, meski pada tahun1990 tidak ada
perusahaan swasta yang mencari lulusan Teknik Nuklir.
Kecakapan
menulis itulah yang kemudian membuka saya untuk mengawali kerja di jurnalistik
selama lima tahun, mulai dari koran Bisnis Indonesia, majalah Prospek dan
terakhir di majalah SWA. Bahkan saat kemudian menjadi eksekutif di
Detik.com dan terjun ke dunia usaha, menjadi pengusaha di bidang digital,
kecakapan menulis tetap berperan besar.
Jadi, jangan
remehkan hobi apapun yang kita tekuni saat sekolah dan kuliah. Itu bekal
kecakapan non-akademis yang penting menghadapi kehidupan pasca kuliah akademis.
Kedua: Kecakapan Bertarung.
Eh bertarung?
Iya, bertarung. Berkelahi. Bisa bertarung ide atau fisik.
Mereka yang
biasa adu gagasan saat berorganisasi di sekolah, biasanya mampu menyampaikan gagasannya
dengan baik, dan punya mental untuk menang. Banyak organisasi yang bisa jadi
ajang mengasah ini, bisa via OSIS, kelompok pecinta alam, atau kelompok sains
saat SMP/SMA bisa via berbagai organisasi yang tumbuh subur di kampus atau
bahkan di luar kampus.
Bisa juga via
olahraga. Lomba-lomba di berbagai jenis olahraga itu mengajarkan mental juara.
Saya kebetulan dari SMA hingga kuliah ikut karate dan sempat beberapa kali jadi
juara di pertandingan antar kampus se Jateng-Yogya, jadi tahu bahwa sebagus apapun
kemampuan teknik karate kita, jika ngeper menghadapi lawan, ya kita akan kalah.
Bahkan jika kita percaya diri, lawan yang kempuan teknisnya lebih bagus pun
bisa kita taklukkan.
Kecakapan
bertarung itu membuat kita punya mental menang.
Tiga: Kecakapan Bertahan Hidup
Beberapa
teman sekolah dan kuliah saya sebagian adalah anak-anak orang tak mampu, yang
kadang terlambat membayar SPP atau tak mampu beli buku, namun mereka tetap
sekolah/kuliah dengan semangat tinggi. Dan mereka bisa lulus dengan nilai baik.
Saat kerja pun prestasinya menonjol dan karirnya bagus.
Bahkan untuk
bertahan hidup dan bisa tetap kuliah, mereka mencari uang dengan berbagai cara,
termasuk jualan koran atau bubur kacang ijo di kampus, beberapa yang kreatif
jualan kaos sablon.
Saya termasuk
yang terlatih sejak dini karena begitu lulus SMA dan diterima di Teknik Nuklir
UGM, langsung minta izin orang tua untuk hidup mandiri, tak perlu dikirimi uang
bulanan untuk bayar kos dan hidup jauh dari orang tua. Ini mengajarkan saya
untuk mengalami hidup dalam kondisi terburuk – tak punya uang sama sekali tapi
harus survive –
dan semangat untuk mandiri.
Syukurlah
saya punya orang tua yang mengajarkan mandiri, bahkan sejak SMP, dengan
membantu bisnis orang tua. Setiap Jum’at, bersama pegawai lainnya, saya
dapat honor dari berapa baju yang saya seterika, berapa baju yang saya pasangi
kancing, dan seterusnya dari toko jahit orang tua. Uang itulah yang disebut
uang jajan. Hasil keringat sendiri.
Mereka yang
cakap menghadapi hidup lebih awal, tanpa sadar membangun daya tahan sekaligus
daya hidup yang lebih tinggi. Beberapa teman yang seperti ini, setelah lulus
kuliah, banyak yang menjadi pengusaha, meski sebagian mengawali sebagai
karyawan.
Saya senang
bisa mengetahui beberapa calon wisudawan UGM yang sejak kuliah pun menyalurkan
hobinya, termasuk membuat game online, dan bercita-cita jadi pengusaha begitu
lulus (padahal sesungguhnya mereka sudah jadi pengusaha saat kuliah).
Keempat: Attitude atau sikap hidup.
Bagaimana
sikap hidup kita menghadapi sesuatu (orang lain, peristiwa, gagasan, bahkan
diri sendiri) itu menantukan jalan kita ke depan. Sikap, bukan kecakapan, yang
akan menentukan tingginya posisi kita.
Mereka yang
bersikap positif biasanya hidupnya lebih mudah, termasuk lebih mudah
bekerjasama dengan orang lain, lebih mudah mengelola anak buah, lebih mudah
bekerja dengan atasan.
Sikap positif
ini bukan hanya pada orang lain, peristiwa atau gagasan saja, tetapi bahkan
pada diri sendiri. Kadang, ada saja yang nggak percaya diri, merasa
kurang ini kurang itu yang berujung minder. Merasa kurang untuk kemudian
memperbaiki diri itu wajar, tapi kalau berujung minder itu artinya sikap
hidupnya belum positif.
Empat hal di
atas, jika dilatih sejak kecil, akan menjadi teman baik kecakapan akademis
memasuki era pasca kuliah menghadapi dunia non akademis.
Namun, bagi
yang belum punya, kecakapan tersebut juga bisa dilatih saat kerja.
Bagi saya, keempat hal di atas bisa menjadi modal untuk memasuki
dunia wirausaha. Maka saya berharap, semakin banyak lulusan UGM yang sejak
kuliah sudah punya bekal tersebut, agar kelak jadi pengusaha. Apalagi saat ini,
di era Internet, peluang untuk menjadi pengusaha, terutama yang berbasis
IT/Internet, terbuka luas.
No comments:
Post a Comment